Transisi ke kendaraan listrik (Electric Vehicles – EV) di Asia sangat didorong oleh kebijakan pemerintah, terutama melalui insentif pajak dan subsidi. Tiongkok dan Indonesia menawarkan dua model kebijakan yang berbeda dalam upaya mendorong adopsi EV, mencerminkan prioritas ekonomi masing-masing negara.
Tiongkok, sebagai leader pasar EV global, menerapkan insentif yang bersifat masif dan terpusat, termasuk pembebasan pajak pembelian dan subsidi tunai yang signifikan di masa awal, yang sangat efektif mendongkrak permintaan. Kebijakan Tiongkok telah bergeser dari subsidi tunai menjadi insentif non-fiskal seperti kemudahan perizinan dan investasi besar pada infrastruktur pengisian daya.
Sebaliknya, Indonesia fokus pada integrasi EV ke dalam industri manufaktur domestik dengan menekankan pada Kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Insentif yang ditawarkan Indonesia meliputi pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan pembebasan Bea Masuk, terutama untuk produsen yang berkomitmen membangun fasilitas produksi baterai dan perakitan di dalam negeri.
Perbandingan kebijakan ini menunjukkan bahwa Tiongkok memprioritaskan volume adopsi dan menciptakan raksasa EV lokal, sementara Indonesia menggunakan insentif untuk menarik investasi asing, membangun ekosistem EV yang terintegrasi, dan memangkas ketergantungan pada impor, sejalan dengan visi hilirisasi industri.

