0
0
Serangan siber kini bukan lagi ancaman kecil. Di masa depan, perang siber diprediksi bisa melumpuhkan infrastruktur dunia—dari listrik, transportasi, hingga jaringan komunikasi. Tahun 2030 disebut banyak pakar sebagai titik kritis apakah dunia siap menghadapi perang digital.
Serangan ransomware dalam dekade terakhir sudah memberi gambaran. Rumah sakit, perusahaan besar, hingga lembaga pemerintahan lumpuh akibat sistem dikunci hacker. Bayangkan jika skala serangan ini diperluas ke jaringan listrik nasional atau bandara internasional.
Negara-negara besar kini berlomba memperkuat pasukan siber mereka. Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok sudah menganggap cyberwarfare sebagai bagian penting strategi militer. Perang masa depan bisa dimenangkan bukan dengan tank, tapi dengan kode berbahaya yang melumpuhkan lawan tanpa peluru.
Masalahnya, infrastruktur dunia masih rentan. Banyak sistem vital seperti pembangkit listrik dan transportasi masih menggunakan perangkat lama yang mudah diretas. Selain itu, kolaborasi internasional untuk melawan serangan siber masih lemah.
Jika perang siber pecah pada 2030, dampaknya bisa lebih luas dari perang fisik. Bank bisa kolaps, jaringan internet mati, dan layanan kesehatan lumpuh. Bahkan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah jika sistem publik gagal berfungsi.
Meski begitu, ada upaya positif. Beberapa negara membangun pusat keamanan siber global, melatih ribuan ahli, dan mengembangkan teknologi pertahanan berbasis AI. Industri swasta juga ikut berperan dalam memperkuat ekosistem digital.
Perang siber 2030 adalah ancaman nyata sekaligus peringatan. Dunia harus siap membangun pertahanan digital setangguh pertahanan fisik.
Pertanyaannya: apakah kita benar-benar siap, atau hanya menunggu bencana digital besar pertama yang melumpuhkan dunia?
